Kabupaten
pati merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang mempunyai beragam adat budaya
dan tradisi, Terletak di jalur pantura, Kabupaten ini tentunya menjadi salah
satu tempat untuk singgah bagi mereka yang melewatinya. Kabupaten Pati ini boleh di bilang mempunyai dua bagian yang satu
sama lain saling menguatkan, yaitu daerah Pesisir laut dan daerah pegunungan.
Sebagai daerah pesisir laut sejak zaman dulu kabupaten pati selalu menjadi
salah satu tempat transit bagi para prdagang bahkan menjadi salah satu tempat
untuk menjajakan dagangan bagi para saudagar dari beberapa negara seperti
india, arab dan eropa tentunya. Sebagai daerah pegunungan pati juga di jadikan
tempat untuk bertapa ataupun sekedar untuk beeristirahat bagi para saudagar.
Dengan hadirnya para pedagang dari berbagai daerah mau tidak mau maka
tercampurlah tradisi-tradisi lokal, budaya masyarakat dengan pendatang, dan
tentunya pula hal ini menjadikan kabupaten ini mempunyai banyak budaya dan
tradisi yang beragam.
Kalau
di daerah pesisir ada tradisi dan budaya yang sampai saat ini terus di
lestarikan Seperti Lombana atau sedekah laut daerah pesisisir, maka di daerah pegunungan/daratan
ada tradisi yang namanya Kabumu ( sedekah bumi) contohnya meron di sukolilo pati, seperti halnya sedekah laut, sedekah bumipun mempunyai
arti yang sama dengan sedekah laut, akan tetapai cara dan tradisinya yang
berbeda, kalau sedekah laut cenderung untuk memanjatkn puji syukur kepada Tuhan
atas nikmat dari laut yang begitu besar, begitu pula sebaliknya sedekah bumi
demikian juga. Kabumi (sedekah bumi) biasanya di laksanakan antar bulan
syawal-bulan dzulhijjah (bulan besar dlm bahasa jawa), kegiatan ini biasanya di
lakukan di tempat dimana salah satu cikal bakal dari desa tersebut di mkamkan,
sebelum ritual ini di laksanakan, biasanya para ibu rumah tangga memesak
berbagai masakan paling enak untuk di bawa ke tempat tersebut, dan
makanan-makan tersebut akan di kumpulkan menjadi satu sebelum akhirnya nanti
masyarakat setempat berdoa bersama-sama. dan secara bersama-sama makanan
tersebut akan di makan, dan sebagian besar nantinya akan di bawa pulang orang
dari berbagai daerah untuk di makan, kegiatan ini dulunya merupakan bentuk dari
rasa sykur masyarakat kepada Tuhanya atas hasil bumi yang selama satu tahun di
berikan.
Seiring
dengan berjalanya waktu, sedekah bbumi sekarang bukan hanya sebagai kegiatan
syakral masyarakat setempat, akan tetapi sekarang menjadi salah satu tradisi
sakral yang di barengi dengan berbagai macam hiburan bahkan menjadi salah satu
tradisi masyarakat yang menjadi potensi wisata bagi kabupaten pati, lihat saja
contohnya di tunjung rejo, kegiatan ini di lakukan dengan berbagaimacam hiburan
seperti pawai bareng yang di iringi dengan berbagai macam kesenian. Acara
sedekah bumi sendiri ini sekarang di lakukan hampir satu minggu, biasanya di
awali dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seoperti Hotmil qur"an, tahlil
bersama dan pengajian umum, slain itu juga terdapat berbagai acara tradisional
seperti pementasan kethoprak.
Memang
acar seperti ini bagi sebagian orang di anggap menyimpang dari nilainilai agama
kalu kita lihat dari kacamata yang sangat sempit, akan tetapai kalau kita lihat
lebih luas, acara ini merupakan acara ukhiwwah dan saling mengenal,
berkumpul antar masyarakat, selain itu acara ini merupakan acra syukurnya
masyarakat setempat dalam memenjatkan puji syukur kepada Tuhuanya.
Apapun
itu sedekah bumi sudah menjadi tradisi masyarakat dan kearipan lokal yang harus
kita jaga sebagai aset wisata.
Sedekah
Laut Desa Bendar Juwana Pati
Pada bulan syawal tepatnya seminggu
setelah Idul fitri pasti akan di adakan acara sedekah Laut, yang biasanya akan
diselenggarakan pada hari minggu kecuali minggu wage. Budaya ini adalah sebuah
kebiasaan, traktat dan adat peninggalan jaman Hindu Budha, contoh sajen
(sesaji). Saat sedekah laut warga pun membuatkan sajen untuk di larungkan ke
laut.
Tahun -1990 setiap warga yang mempunyai alat tangkap pasti membuang sajennya masing- masing, yang berisi telur dan kembang telon yang lengkap dengan maejan. Akan tetapi acara tersebut sekarang di formalkan dengan mengadakan larung sesaji, dimana semua sajen warga akan di wakilkan menjadi satu Larung sesaji di wujudkan oleh pemerintah desa yang dikemas dalam bentuk jodang sesaji berisi ndas kebo atau ndas wedhus (kepala kerbau atau kepala sapi) beserta 4 kakinya, kembang telon lengkap dengan maejan, serta degan yang dikrowoki (dilubangi) sedangkan dalamnya diisi dengan gula jawa. Ada dua Jodang yang di buat, jodang pertama untuk di larungkann kelaut dan yang kedua di kirab bersama hiburan-hiburan misalnya drum band. Tanggapan (tontonan atau hiburan) yang wajib saat sedekah laut ada tiga yaitu Barongan, Ketoprak, dan lomban. Sajen yang kedua setelah di kirab, akan di jadikan batas akhir dari lomban, maksudnya adu balap perahu untuk memperebutkan entok, siapa yang paling banyak mendapatkannya maka itu pemenangnya. Bahkan kata orang lomban itu di saksikan langsung oleh Nyi Roro Kidul.
Lomban di laksanakan di sungai juwana yang di kenal sebagai Bengawan Silugonggo. Masyarakat menyebut seperti itu karena sungai Silugonggo tidak pernah kering, sebenarnya Bengawan itu memiliki larangan, yaitu tidak boleh dikilani (di ukur) dan disombongkan karena itu akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Contoh dulu pernah diselenggarakan lomba menyebrangi bengawan silugonggo dengan tali yang diikat dari etan sampai kulon kali (timur sampai barat sungai) dan akhirnya tali tersangkut di tiang sehingga banyak korban yang berjatuhan itu dikarenakan sudah berani ngilani bengawan tersebut. Peristiwa itu tepat pada hari minggu wage, itu alasan kenapa sedekah laut tidak boleh dilakukan pada minggu wage.
Tahun -1990 setiap warga yang mempunyai alat tangkap pasti membuang sajennya masing- masing, yang berisi telur dan kembang telon yang lengkap dengan maejan. Akan tetapi acara tersebut sekarang di formalkan dengan mengadakan larung sesaji, dimana semua sajen warga akan di wakilkan menjadi satu Larung sesaji di wujudkan oleh pemerintah desa yang dikemas dalam bentuk jodang sesaji berisi ndas kebo atau ndas wedhus (kepala kerbau atau kepala sapi) beserta 4 kakinya, kembang telon lengkap dengan maejan, serta degan yang dikrowoki (dilubangi) sedangkan dalamnya diisi dengan gula jawa. Ada dua Jodang yang di buat, jodang pertama untuk di larungkann kelaut dan yang kedua di kirab bersama hiburan-hiburan misalnya drum band. Tanggapan (tontonan atau hiburan) yang wajib saat sedekah laut ada tiga yaitu Barongan, Ketoprak, dan lomban. Sajen yang kedua setelah di kirab, akan di jadikan batas akhir dari lomban, maksudnya adu balap perahu untuk memperebutkan entok, siapa yang paling banyak mendapatkannya maka itu pemenangnya. Bahkan kata orang lomban itu di saksikan langsung oleh Nyi Roro Kidul.
Lomban di laksanakan di sungai juwana yang di kenal sebagai Bengawan Silugonggo. Masyarakat menyebut seperti itu karena sungai Silugonggo tidak pernah kering, sebenarnya Bengawan itu memiliki larangan, yaitu tidak boleh dikilani (di ukur) dan disombongkan karena itu akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. Contoh dulu pernah diselenggarakan lomba menyebrangi bengawan silugonggo dengan tali yang diikat dari etan sampai kulon kali (timur sampai barat sungai) dan akhirnya tali tersangkut di tiang sehingga banyak korban yang berjatuhan itu dikarenakan sudah berani ngilani bengawan tersebut. Peristiwa itu tepat pada hari minggu wage, itu alasan kenapa sedekah laut tidak boleh dilakukan pada minggu wage.
Karena tidak ada tokoh atau patokan yang
jelas maka acara itu selalu berkembang, seperti halnya kirab sesaji yang terus
berkembang dengan menyertakan drum band sedangkan orang yang mengikuti prosesi
mengenakan pakaian adat pati.
Antusias warga sangatlah besar bahkan
bukan hanya warga Desa Bendar saja, banyak warga dari desa lain
berbondong-bondong ikut merayakan dan menikmati acara yang berada di Bendar.
Saat terlontar pertanyaan “ jika Sedekah Laut tidak ada bagaimana pendapat
kalian...?”, maka banyak warga ya ng menjawab acara itu harus ada karena itu
sudah di adakan sejak zaman dahulu. Berarti dapat di simpulkan bahwa masyarakat
Desa Bendar Juwana Pati mempunyai ketakutan tersendiri jika Sedekah Laut di
hapus dari desa mereka.
Tradisi Meron di Sukolilo Pati
Tradisi
meron di kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang menjadi kirab
budaya tahunan biasanya digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad atau
dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah maulid Nabi.
Kirab
budaya ini berlangsung dengan serangkaian acara, seperti arak-arakan nasi
tumpeng dalam kapasitas yang besar di mana oleh penduduk setempat dinamakan
Meron. Tak hanya itu, pawai dan karnaval menjadi bagian dari tradisi perayaan
Meron. Berlangsung Minggu (4/1) kemarin, kirab Meron sempat membuat jalan utama
Sukolilo-Purwodadi macet total.
Beberapa
peserta memakai seragam khas petani yang menggunakan caping yang melambangkan
simbol pertanian yang subur. Beberapa di antaranya dijumpai perempuan-perempuan
memakai pakaian khas ala keraton, naga, dan drum band anak-anak serta remaja.
Tampak hasil tani penduduk setempat dirangkai dalam gunungan seperti terong,
petai, kacang, cabe, padi, hingga buah-buahan. Mirip seperti karnaval yang
mengkolaborasikan antara seni, tradisi, dan budaya.
Ada
beberapa arti dan makna dari tradisi meron di Sukolilo. Pertama, bentuk rasa
syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang selama ini telah melimpahkan segala
rahmat dan anugerah selama setahun dengan hasil pertanian yang melimpah. Rasa
syukur ini dalam bahasa Jawa dikenal "selametan".
Kedua,
menyambut hari kelahiran Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai pembawa risalah umat
Islam, kelahiran Nabi selalu diperingati oleh umatnya dari berbagai penjuru
dunia, termasuk warga Sukolilo yang berada di wilayah lereng pegunungan Kendeng
ini.
Ketiga,
melestarikan tradisi dari kisah yang pernah berlangsung saat Pati dan Mataram
berseteru. Ketiga arti dan makna tradisi Meron itulah kemudian para warga
Sukolilo hingga kini terus melestarikan dan mempertahankan sebagai adat
istiadat dari generasi ke generasi.
Sejarah
asal mula
Sejarah,
legenda, dan asal mula tradisi Meron dilatari pada masa pemerintahan Sultan
Agung sebagai penguasa Mataram yang saat itu menyerang Pati saat dipimpin
Adipati Pragola.
Sebagai
demang di Sukolilo, Ki Suta Kerta yang memiliki kakek dan leluhur di Mataram ia
ditugaskan untuk mengabdi di Pati. Sementara itu, saudaranya yang bernama Sura
Kadam memilih untuk mengabdi di Mataram. Saat perang pecah berlangsung dan Pati
berhasil ditaklukkan Mataram, Sura Kadam menengok saudaranya di Sukolilo.
Mengetahui
prajurit Mataram menuju Sukolilo, Sura Kerta ketakukan khawatir ditangkap.
Seketika, saudaranya tadi menjelaskan bahwa kedatangannya hanya untuk
menjenguk, silahturahmi, dan ingin beristirahat. Dari sini, Sura Kadam terlibat
dalam perbincangan dan mengusulkan agar warga Sukolilo mengadakan upacara
sekaten untuk memperingati dan menghormati hari lahirnya Nabi Muhammad Saw
sekaligus menghibur rakyat.
Sontak,
penduduk menyambutnya dengan riang dan gembira. Dari sini, tradisi sekaten yang
selalu ditandai dengan adanya gunungan yang diarak disebut dengan meron yang
artinya rame dan iron atau tiron. Sementara iron berarti tiruan.
Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin
Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad
Al-Mutamakkin kabupaten Pati merupakan sebuah upacara tradisional khoul yang
dilaksanakan oleh masyarakat Kajen Pati dan sekitarnya. Upacara khoul ini
merupakan kegiatan ritual yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menghormati dan
memuliakan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dengan memohon ampun dan mengirim doa atau
memanjatkan doa sebagai peringatan setelah seribu hari meninggalnya (nyewu=Jawa).
Tokoh Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di daerah Pati dan sekitarnya. Kisah hidupnya ditulis dalam Serat Cabolek yang dikarang oleh Raden Ngabehi Yasadipura I pada masa pemerintahan Pakubuwana II pada masa pemerintahan Surakarta pada abad ke-18. Salah satu tujuan dilaksanakannya tradisi khoul yang dijuluki dengan tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin adalah sebagai sarana untuk menghormati dan mengenang akan keberadaan jasa-jasa beliau.
Tokoh Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di daerah Pati dan sekitarnya. Kisah hidupnya ditulis dalam Serat Cabolek yang dikarang oleh Raden Ngabehi Yasadipura I pada masa pemerintahan Pakubuwana II pada masa pemerintahan Surakarta pada abad ke-18. Salah satu tujuan dilaksanakannya tradisi khoul yang dijuluki dengan tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin adalah sebagai sarana untuk menghormati dan mengenang akan keberadaan jasa-jasa beliau.
Tradisi inidilaksanakan satu tahun
sekali yang merupakan acara rutin pada setiap bulan Sura. Prosesi khaul 10 Sura
Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini diawali mulai tanggal 6 Sura dan diakhiri pada
tanggal 11 Sura. Waktu tersebut dipilih sebagai pelaksanaan upacara ritual
dikarenakan bulan Sura atau yang bertepatan dengan bulan Muharam bagi
masyarakat Jawa merupakan bulan yang sakral dan dianggap bulan yang baik untuk
mengadakan ritual atau tradisi tertentu. Bulan Muharam (Sura=Jawa) bagi
masyarakat Islam adalah tahun baru Hijriyah dan biasa digunakan sebagai sarana
mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Pada upacara tersebut terdapat berarapa
rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain;
Tahtiman Al-Quran Bilghoib dan
Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul.
Kirab Budaya Masa Lalu di Hari Jadi Kota Pati
Dalam
acara kirab yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini memberikan kesan yang
baik terhadap para siswa atau pelajar di Pati
Citizen6, Pati Prosesi perjalanan Kirab Hari Jadi Kabupaten Pati ke 691
jatuh setiap tanggal 7 Agustus diadakan secara sederhana namun penuh dengan
kesakralan memberikan arti tersendiri dalam mengenang perjuangan para lelulur
pendiri Kadipaten Pati. Diawali dengan doa bersama para Pemimpin Pati dan
masyarakat Pati di bekas Pendopo Kadipaten Pati desa Kemiri Sarirejo secara
seksama dan penuh keakraban sebelum kegiatan kirab dimulai menjadikan prosesi
Hari Jadi Kabupaten Pati semakin mengena.
Iring-iringan
perjalanan kirab yang diawali dengan tujuh kereta kuda yang ditumpangi Bupati
Pati Haryanto, Wakil Bupati Budiono, Kapolres Pati AKBP Budi Haryanto, Dandim
Pati Heri Setiyono, Ketua Dewan Sunarwi dan jajaran Forkompimda, Kepala SKPD,
para Camat dan Lurah serta melibatkan sejumlah Anggota Dewan.
Perjalanan
kirab yang dimulai pukul 09.00 pagi itu memberikan kenangan tersendiri bagi
warga masyarakat yang sejak pagi menunggu di sepanjang jalan protokol dari desa
Kemiri ke desa Pati Lor tempat Pendopo Kabupaten sekarang. Kesan sakral dan
penuh kekaguman selalu menghias dalam perjalanan kirab tatkala para pemimpin
Pati mengenakan pakaian adat kebesaran jaman pemerintahan Kadipaten Pati
dahulu.
Dalam
acara kirab yang dilakukan setiap lima tahun sekali ini memberikan kesan yang
baik terhadap para siswa atau pelajar di Pati ketika menyaksikan langsung
perjalanan kirab dengan sentuhan sebagai mana yang pernah terjadi di masa
dahulu. Selain memberikan cinta terhadap tanah air juga mengenang jasa-jasa
para leluhur dan budaya di Kabupaten Pati. Prosesi semakin mengena di hati
masyarakat dan pelajar ketika pusaka Keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro
sebagai simbul persatuan dan kesatuan ikut diarak dalam kirab Hari Jadi
Kabupaten Pati.
Tradisi-Tradisi
Sendang Sani
Sebagai salah satu tempat dan situs bersejarah, Sendang Sani
memiliki tradisi yang dari dulu sampai sekarang masih berkembang. Tradisi
tersebut terus dibudidayakan hingga saat ini dengan tujuan agar orang-orang
zaman sekarang masih dapat mengetahui tentang tradisi tersebut.
Salah satu tradisi yang masih tetap berkembang di kawasan
Sendang Sani yaitu upacara Handodento. Upacara Handodento selalu dilaksanakan
setiap tahun tepatnya setiap bulan Mulud (Rabiul Awal).
Adapun tata upacara Handodento yaitu diikuti oleh beberapa orang
dari Yayasan Handodento yang berada di Yogyakarta. Orang-orang tersebut datang
ke Sendang Sani dengan mengenakan pakaian lengkap jawa asli, yaitu berupa jarik
(semacam kain yang lebar dan memiliki motif batik atau biasanya disebut dengan
kain batik, biasanya dilengkapi dengan kemben sebagai pasangannya untuk
mengenakan jarik ini) dan kebaya serta juga
disertai dengan sanggul asli jawa bukan sanggul modern bagi kaum wanita.
Berbeda dengan kaum wanita, untuk kaum lelaki hanya menggenakan jarik, pakaian
beskap (sebuah pakaian asli jawa yang bentuknya seperti jas namun jas tersebut
lebih pendek), serta juga mengenakan blangkon (seperti topi atau tutup kepala
yang terbuat dari kain, biasanya kain yang digunakan untuk membuat blangkon
berasal dari kain batik).
Para peserta upacara Handodento kemudian berjalan dari dalam
Sendang Sani sampai dengan makan Adipati Pragola Pati yang lokasinya tidak
begitu jauh dari kawasan Sendang Sani. lokasinya hanya sekitar berjarak kurang
lebih 100 m dan hanya melewati sebuah jalan yang menanjak di mana di sebelah
kanan dan kirinya terdapat sawah-sawah milik penduduk sekitar. Mereka berjalan
dengan berbaris serta berjongkok dengan pelan-pelan. Dan sesampainya di makam
Adipati Pragola Pati, para peserta upacara melakukan beberapa ritual kejawen.
Selain tradisi upacara Handodento, juga ada tradisi
syukuran. Sebenarnya syukuran bukan termasuk tradisi karena tidak rutin
dilakukan. Namun, ada beberapa warga yang mengatakan kalau syukuran termasuk
tradisi karena masih beberapa warga yang menjalaninya. Namun, tradisi ini hanya
dilakukan oleh penduduk sekitar, tidak dilakukan oleh suatu yayasan. Biasanya
syukuran diadakan oleh penduduk yang baru saja menerima suatu berkah atau
anugrah yang besar ataupun biasanya yang sebelumnya disertai dengan nadzar.
Syukuran yang dilaksanakan biasanya ditandai dengan adanya
nasi tumpeng dan seekor ingkung (seekor ayam yang dibiarkan tetap utuh atau
dengan kata lain tidak dipotong-potong dan langsung dimasak, biasanya dimasak
opor). Adapun tempat diadakan syukuran yaitu di sebuah tempat seperti sebuah
pendopo yang berukuran lebih kecil di mana letaknya berdekatan tepat di samping
tempat Sendang Sani berada.
Adapun beberapa acara yang biasanya dilakukan saat syukuran
berlangsung yaitu diantaranya doa bersama dan diakhiri dengan pemotongan
tumpeng sebagai tanda bersyukur atas berkah dan anugrah yang diberikan oleh
Allah. Para peserta syukuran juga biasanya memberikan telur rebus kepada bulus
yang terdapat pada Sendang Sani sebagai makanan bulus tersebut.
Ritual Kungkum
Menurut
budayawan Darmanto Djatman, kungkum
merupakan tradisi yang telah ada sejak masa Hindu. Dengan kedatangan Hindu,
tradisi ini kemudian berakulturasi. Kungkum
dimaksudkan sebagai media pembersihan jiwa yang kotor baik secara lahir maupun
batin. Sayang, dalam perkembangannya ritual ini mengalami pergeseran dari sifat
sakral ke profan.
Sementara
itu, tradisi lain yang biasa dilakukan masyarakat dalam menyambut bulan Sura
adalah puasa. Beberapa jenis puasa seperti ngrowot (hanya makan jenis pala kekendhem, pala kesampar sarta pala gumantung), mutih, ngepel (hanya makan nasi segenggam
tanpa lauk pauk), serta pati geni.
Ritual
lainnya adalah selamatan Sura dengan berbagai jenis makanan seperti bubur abang
putih, jenang baro-baro yang dibuat dari ketan atau beras, serta tumpengan.
Ritual
jamasan pusaka merupakan salah
satu momen penting bagi orang Jawa. Dalam ritual tersebut, barang-barang pusaka
seperti keris, tombak, pedang, dan benda-benda lain yang dianggap berkekuatan
di luar nalar dibersihkan dengan minyak wangi tertentu.
Kolektor
keris St Sukirno menjelaskan, tujuan jamasan tersebut agar bebas dari sengkala (marabahaya) karena setiap
pusaka diakui memiliki kekuatan di luar nalar. ''Kalau keraton memilih waktu
jamasan pada 1-10 bulan Sura, orang kebanyakan akan memilih waktu di luar hari
tersebut. Sebab, orang Jawa kebanyakan tidak berani menyamai keraton,''
ujarnya.
Dia
mengemukakan, kualitas suatu keris dapat dilihat dari pamor, dapur, jenis
besinya, empu pembuatnya, dan tuah. Agar keris tidak mengalami pengaratan pada
proses jamasan biasa digunakan
wewangian tertentu. Minyak untuk jamasan
ini adalah minyak cendana, minyak melati, minyak kenanga, minyak mawar, dan
minyak kelapa sawit.
''Pertama
kita berdoa agar tetap terjaga kelestarian benda tersebut dan berdoa ada
kemanfaatan atas pelestarian benda pusaka ini,'' ungkapnya sambil menunjukkan
sebilah keris.
Khoul Syeh Ronggo Kusuma, Margoyoso-Pati
Khoul Syeh Ronggo
Kusuma merupakan upacara adat untuk memperingati hari kematian sesepuh desa
yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam di desa Ngemplak Kidul.
Sekilas
Tentang Syeh Ronggo Kusumo
Desa Ngemplak kidul
dibuka oleh Mbah Ronggo Kusumo
beserta para murid dan keluarganya. Mbah Ronggo Kusumo adalah salah satu wali
lokal yang menyebarkan agama Islam. Raden Ronggokusumo adalah putera Ki Agung
Meruwut yang masih keponakan KH.Ahmad Mutamakkin. Ia diperintahkan untuk
membuka tanah (menebang hutan) disebelah barat Desa Kajen. Perintah beliau
dilaksanakan penuh tanggungjawab sehingga dalam waktu yang singkat (konon dalam
waktu satu malam) tanah tersebut terlihat emplak-emplak, sehingga oleh beliau
dinamai Desa NGEMPLAK.
Raden Ronggo Kusumo
menetap di Desa tersebut dan berjasa besar dalam menyiarkan Agama Islam.
Masyarakat desa Ngemplak Kidul dan sekitarnya sangat menghormati Mbah Ronggo
Kusumo. Hari wafat beliau, 10 Sapar (Arab: Safar) diperingati sebagai "Khaul Syekh Ronggo
Kusumo."
·
Prosesi upacara adat
Khoul Syeh Ronggo Kusuma
diperingati pada tanggal 10 Sapar setiap tahun. Sebelum acara inti biasanya
diadakan pengajian dan khotmil qur’an di masjid Syeh Ronggo Kusumo. Dalam acara
tersebut banyak pengunjung yang datang ke masjid untuk ikut berpartisipasi
dalam pengajian dan khotmil qur’an. Pada tanggal 10 Sapar akan diadakan acara
“lelang kain kafan (mori)” yaitu melelang mori yang digunakan untuk menutupi
kubur mbah Ronggo. Karena dalam setiap tahun kain kafan yang digunakan untuk
menutupi kuburan mbah Ronggo harus diganti dengan yang baru. Bagi siapa yang
berani menawar dengan harga yang tinggi berarti itulah yang mendapatkanya.
Dalam lelang kain kafan bisa mencapai 17 juta lebih. Biasanya acara
tersebut diadakan pada tanggal 10 Sapar di pagi hari.
Selain acara inti, biasanya
diadakan pula acara-acara lain yaitu diadakan tontonan berupa drumband,
barongan, ketoprak, dangdutan, wayang dll. Pada tanggal 10 Sapar, di makam mbah
Ronggo banyak para pengunjung yang datang untuk berziarah, baik itu dari desa
Ngemplak Kidul sendiri maupun dari luar desa Ngemplak Kidul. Selain pada hari
peringatan tersebut, di makam mbah Ronggo juga tidak sepi oleh pengunjung untuk
berziarah dan pada puncaknya yaitu setiap malam jumat wage. Para peziarah
disini tidak mengharapkan berkah yang datang dari mbah Ronggo tersebut
melainkan mengharapkan berkah dari Allah SWT melalui waliyullah yaitu Syeh
Ronggo Kusumo. Jadi masyarakat di desa Ngemplak tidak menganggap kalau hal
tersebut syirik karena mereka tidak meminta-minta kepada mbah Ronggo tetapi tetap
meminta-minta kepada Allah dengan perantara mbah Ronggo.
Di makam mbah Ronggo
ini terdapat masjid yang biasanya digunakan para santri untuk menghafal
Al-Qur’an dan digunakan para peziarah untuk membaca tahlil dan yasin. Biasanya
para peziarah sangat khusu’ dalam berdo’a bahkan sampai ada yang terisak-isak
menagis. Mereka yakin bahwa do’a mereka akan dikabulkan oleh Allah melalui
perantara mbah Ronggo. Di kompleks makam mbah Ronggo ini juga digunakan oleh
masyarakat desa Ngemplak Kidul sebagai pemakaman umum bagi masyarakat desa
Ngempalk Kidul sendiri. Masyarakat desa Ngemplak Kidul sangat menghormati dan
mengagumi perjuangan mbah Ronggo dalam menyebarkan agama Islam di desa Ngemplak
Kidul. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Sapar diadakan Khoul Syeh Ronggo
Kusumo.
Haul
Syeh Jangkung
Haul Syeh Jangkung diperingati pada
15-16 Rajab di mana pada malam-malam peringatan ini banyak peziarah berdatangan
untuk berziarah maupun ngalap berkah.
Haul Syeh Jangkung juga diperingati
pengelola dengan menyelenggarakan pengajian. Biasanya haul Syeh Jangkung
dimulai dengan acara ganti kelambu kemudian disusul dengan acara pengajian dan
pasar malam.
Pada saat haul Syeh Jangkung inilah
banyak pengunjung bukan hanya datang dari warga Pati, tetapi juga dari berbagai
provinsi hingga mancanegara, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Malaysia
hingga Singapura. Selain hari haul, makam Syeh Jangkung dipadati pengunjung
pada malam Jumat atau kamis malam.
Saat ini, Makam Syeh Jangkung memiliki
juru kunci yang dipercaya sebagai keturunan Syeh Jangkung sendiri, yaitu RH
Damhari Panoto Jiwo yang merupakan keturunan Syeh Jangkung ke-11.
Salah satu petilasan yang ditinggalkan
Syeh Jangkung adalah sumur kampung ndonga di mana dulu sumur ini digunakan
Saridin (Syeh Jangkung) untuk minum saat Saridin tidak diberi minum oleh orang
kampung mengingat waktu itu benar-benar kemarau dan musim kekeringan. Dari
peristiwa itu, Saridin menancapkan pusaka ke tanah lalu muncul air.
Ajaran-ajaran Syeh Jangkung Saridin
Ajaran-ajaran syeh Jangkung Saridin
adalah sebagai berikut. Ajaran-ajaran Syeh Jangkung ini sudah dialihbahasakan
dengan Bahasa Jawa logat khas Pati. "Ojo njikuk nek gak dikongkon, ojo
njaluk nek gak nggone." Arti dari ajaran Syeh Jangkung Saridin ini adalah
jangan mengambil kalau tidak diperintah atau tidak mendapatkan izin dari yang
punya, jangan meminta kalau bukan miliknya.
Dengan ajaran tersebut, Saridin
mengajarkan kita untuk mengedapankan kejujuran, keikhlasan dan kemandirian
dalam menjalankan sebuah kehidupan. Tak hanya itu, Syeh Jangkung juga
mengajarkan kita untuk tidak saling membenci, jangan suka iri dan jangan suka
bertengkar. Jangan suka mengambil barang yang bukan miliknya juga menjadi
ajaran Syeh Jangkung Saridin yang sangat populer di kalangan masyarakat yang
disarikan dalam sebuah pementasan wayang ketoprak.
Ajaran tersebut dinasehatkan dalam kata:
ojo jrengki, ojo srei, ojo tukar padu, ojo dahpen kemeren, ojo kutil jumput,
ojo beghog colong. Demikian ajaran-ajaran Syeh Jangkung Saridin yang bisa
menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa.
Oleh karena itu, wisata sejarah di Makam
Syeh Jangkung Saridin tidak ada salahnya, bahkan menjadi satu refleksi untuk
mengisi kemerdekaan dengan ajaran-ajaran yang dipesankan oleh Syeh Jangkung
Saridin. Napak tilas sejarah di Makam Syeh Jangkung menjadi menyenangkan
apabila disertai niat untuk mencontoh kisah teladan dari perjalanan panjang
Syeh Jangkung Saridin. (Ditulis secara eksklusif oleh tim Wisata Sejarah
Direktori Pati).
Haul Sunan Prawoto
Sebagai
salah satu wali Allah, nama Sunan Prawoto ternyata masih memberi tempat
tersendiri bagi sejumlah warga Pati bagian Selatan khususnya Sukolilo. Setiap
tanggal 17 Rajab, warga memperingati haul Sunan Prawoto.
Sikap
hormat masyarakat terhadap tokoh agama yang kharismatik itu terlihat dalam
khaul tersebut. Ratusan bahkan ribuan warga nampak begitu antusias dalam
mengikuti jalannya prosesi khaul. Terlebih dalam acara kirab yang digelar pada
Selasa (5/5) kemarin. Sepanjang jalan kampung tersebut dipenuhi warga yang hendak
menyaksikan arak-arakan itu.
Tidak
saja dari Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo namun sejumlah warga dari daerah
lain seperti Kudus maupun Demak dan Grobogan juga turut berdatangan. Sejak
tanggal 16 Rajab siang sampai sore, kain luwur atau penutup makan Sunan Prawoto
akan diarak dalam kirab tersebut. Kain luwur itu akan dibawa mengelilingi jalan
desa hingga sekitar lima kilometer jauhnya.
Dalam
kirab itu, terlihat sejumlah gadis desa yang mengenakan kostum tradisional,
barisan anak sekolah, dan juga pemuda yang turut serta membawa hasil karya dan
hasil buminya. Arak-arakan dimulai dari lapangan balai desa, menuju ke makam
Sunan Prawoto yang terletak di Dukuh Bertolo, Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo.
Sesampainya
di makam, kain luwur atau lurup itu akan diserahkan kepada juru kunci makam
untuk selanjutnya dipasangkan kembali. “Sedangkan untuk kain luwur yang lama
nantinya akan kami simpan,” terang Ketua Panitia Haul Sunan Prawoto, Ana
Masuran Selain kain luwur salah satu tradisi yang identik dalam arak-arakan itu
adalah disertakannya ikan lengkur.
Bumbu Garam
Warga
Prawoto biasanya akan membuat ikan lengkur atau ikan gabus yang dibakar hingga
melengkung dan diberikan bumbu garam dengan lombok merah. Ikan itu kemudian
dibungkus dalam takir atau daun pisang. Keyakinan masyarakat, ikan lengkur
disimbolkan sebagai hasil panen yang melimpah.
Baik
dari sisi perikanan maupun pertanian masyarakat. “Itu sebagai sebuah simbol doa
masyarakat,” ujar Icuk Pranoto Aji, warga Dukuh Sewunegaran, Desa Prawoto.
Peringatan khaul Mbah Sunan Prawoto itu, oleh warga sekitar akrab disebut
sebagai Rajabiyah atau Rejeban.
Peringatan
itu dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan warga lantaran Sunan
Prawoto telah berjasa menyebarkan Islam di tempat tersebut. Sosok Sunan Prawoto
sendiri, diyakini sejumlah warga sekitar sebagai Raden Bagus Hadi Mukmin atau
seorang raja Demak keempat yang memerintah pada tahun 1546 hingga 1549 atau
sepeninggal Sultan Trenggana.
Raden
Mukmin dikenal seabgai orang yang lebih suka hidup sebagai seorang ulama
dibandingkan menjadi seorang raja. Semasa pemerintahannya, Raden Mukmin
memindahkan pusat pemerintahan Bintoro ke bukit Prawoto dan menyebarkan agama
Islam disana.
Ketua
Panitia Haul Sunan Prawoto, Ana Masuran mengatakan, selain kirab budaya dalam
khaul tersebut juga turut digelar sejumlah rangkaian acara. Seperti pasar
rakyat, turnamen voli, hingga khataman Alquran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar